meta keyword --->

Monday 12 February 2018

Jangan Sampai Film (Sinema) Berakhir Bak Sinetron

Kesuksesan film-film buatan dalam negeri seolah sedang mengalami pasang yang tinggi. Berbagai jenis tema film diproduksi terlepas dari dua unsur pembangun film yakni sinematik dan naratif. Dua unsur tersebut menjadi prasyarat mutlak bagi para calon sineas atau bahkan telah menjadi sineas.

Ada beberapa film yang diproduksi hanya kuat dinaratifnya saja ada pula yang hanya kuat di sinematiknya saja, keduanya sah-sah saja menjadi karya seni audio visual dan patut untuk kita apresiasikan. Unsur naratif dalam film sering disebut dengan unsur cerita itu sendiri, dia lepas dari teknik pengambilan gambar, gaya editing, pencahayaan dan lain-lain. Naratif bertutur selayaknya sebuah cerita yang mengalir seperti air, ikuti dari hulu sampai hilir dari masalah sampai penyelasaian masalah. Tentu dengan bermacam lekuk cerita atau halangan cerita, mengalir hingga selesai (happy ending, sad ending atau open ending). Itu semua tergantung dari bagaimana Sutradara menyampaikan pemikirannya. Unsur naratif juga paling mudah untuk diterapkan pada saat produksi, karena ia lepas dari unsur sinematik.

Sinematik dalam film terkadang juga beriri sendiri, jenis film yang kuat diunsur sinematik biasa disebut dengan film art (ekperimental). Unsur naratif dalam film art terkadang hanya dapat dimengerti oleh si pembuat sendiri atau para penyuka film jenis tersebut. Di Indonesia penyuka jenis film ini tidak banyak. Unsur sinematik dalam film itu sering disebut dengen mise-en-scene terdiri dari empat aspek utama, yakni:
 Setting (latar)
 Kostum dan tata rias wajah (make-up)
 Pencahayaan (lighting)
 Para pemain dan pergerakannya (akting)

Dan unsur pembangun yang lain seperti audio dan editing juga masuk dalam unsur sinematik. Sinematik berdiri pada sisi teknis dan kecakapan seorang Sutradara dalam menyampaikan ide/pemikirannya. Kamampuan sinematik inilah yang sering disebut kemampuan teknik. Banyak para filmmaker bermunculan di panggung industri film nasional, tak sedikit pula mereka yang hanya tahu bagaimana membuat cerita saja, tetapi dia tidak mampu menerjemahkannya ke dalam visual secara apik dan kolaboratif antara naratif dan sinematik. Baca : Bagaimana Menciptakan Gambar Sinematik.

Bercermin pada itu semua, hari ini film DILAN mencapai jumlah penonton yang fantastis. 5 juta penonton dalam waktu 17 hari (dua minggu lebih). Apa yang menjadi daya tarik dari film tersebut, tak lain tak bukan adalah dari dua unsur yang terdapat dalam film tersebut. Yakni unsur naratif dan sinematik. Apakah kesuksesan ini harus diulang? Tentu, tetapi harus dengan cerita dan tema yang berbeda agar film Indonesia mampu menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Jangan sampai seperti sinetron kita, yang hari ini sejak era awal perkembangannya di tahun 90an sampai saat ini telah mengalami kejenuhan yang luar biasa. Bahkan cenderung stag.


Sinetron di awal perkembangannya sebenarnya saat itu bertujuan mengisi industri hiburan kita. Di mana film di era 90an cenderung lesu bahkan nyaris tak ada produksi hingga berakhir tahun 2001 yakni dengan mulainya film Kuldesak berlanjut ke Petualangan Sherina dan selanjutnya di tahun berikutnya Ada Apa Dengan Cinta. Sinetron kependekan dari sinema elektronik, bertujuan memasukkan film (sinema) ke dalam dunia televisi. Dan apa yang terjadi dalam perkembangannya, sinetron lebih memilih unsur naratif ketimbang unsur sinematik. Cerita yang dibangun dalam sinetron sangat kuat, tetapi banyak kefatalan diteknik produksinya. Itu akibat mereka filmmaker hanya mengutamakan yang penting nyambung ceritanya, lalu unsur sinematik yang mereka korbankan.

Hingga akhirnya muncullah FTV sebagai rasa ketidakpuasan para sineas berikutnya, sebab dalam penggarapan sinetron banyak cacat visual dan cacat audio. FTV pun di tahun-tahun awal tayangnya yakni tahun 2000an menjadi hal baru dalam dunia film yang masuk ke televisi. Belakangan FTV juga mengalami yang sama seperti sinetron kita, kuat naratif miskin sinematik. Tahun 2010an muncullah yang disebut dengan FTV Plus sebagai ekspresi rasa tidak puas para filmmaker dalam menyajikan film ke layar kaca atau televisi. FTV Plus kecenderungannya kuat di naratif dan sinematik.


Apakah lalu kemudian film nasional hari ini akan bernasib seperti sinetron, dengan monotonnya tema dan cerita ataukah sebaliknya? Sebenarnya bila PH dan Produser film rela memberi peluang bagi para filmmaker berprestasi dan kreatif, maka film hari ini dan mendatang akan makin berkualitas. Bukan tidak mungkin film Indonesia akan menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Sinetron kita gagal karena temanya monoton, karena adanya monopoli penulis skenario, karena Produser tidak percaya pada filmmaker pendatang baru dan karena kita sebagai penonton tidak kritis terhadap yang terjadi.

Salam kreatif. Majulah film Indonesia

Anton Mabruri KN | Penulis, Filmmaker, Praktisi Broadcast tv 

Thursday 8 February 2018

5 Cara Latihan Untuk Menguatkan Daya Kreatifitas Filmmaker

Sebenarnya banyak cara untuk melatih kamu menjadi seorang filmmaker menjadi lebih mahir dan terampil (kreatif). Tulisan ini berlaku tidak hanya untuk kamu yang berminat menjadi kamera person saja tetapi berlaku untuk semua kru produksi yang terlibat dalam sebuah proyek film, video atau televisi.

Bagaimana memulai semua ini?

Yang pertama
Keterdesakan waktu. Loh ko kenapa harus terdesak bukankah ini adalah karya gue, mau-mau gue dong. Pendapat kamu soal hal tersebut, sebenarnya membuat kamu tidak pernah akan belajar disiplin dengan deadline waktu yang kamu buat.

Dalam latihan ini, cobalah memproduksi video, film atau program tv mulailah dengan menyelesaikannya dengan tuntas. Cara latihannya misalnya dengan hanya dalam 72 jam - 24 jam kamu mampu menyelesaikan karyamu dengan baik tidak seenaknya.

Inti latihan ini adalah memaksa kamu bekerja dengan cepat dan mempertahankan momentum. Kamu akan tahu berapa banyak yang bisa kamu keluarkan dari proses produksi dan apa yang tidak mungkin untuk dikorbankan? Urgensi latihan ini menciptakan fokus pada efisiensi dan manajemen waktu.

Yang kedua
Batasi ceritamu. Dalam berlatih membuat video, film dan program tv buatlah durasi pendek. Untuk apa kamu membuat video panjang tetapi ketepatan cerita tidak sampai, pemikiranmu juga tidak sampai untuk dimengerti oleh penonton. Biasanya durasi yang kamu pilih cukup 10 detik sampai 60 detik. Eits ingat tapi bukan buat PSA loh ya..

Yang ketiga
Jangan banyak pemain (talent). Kamu mesti paham, bahwa kamu dalam meniti karir awal-awal memiliki keterbatasan kru dan pemain juga tentunya biaya. Mulailah berlatih dengan membuat video dengan hanya sedikit pemain yang terpenting sudah mewakili tokoh protagonis dan antagonis.

Yang keempat
Minimalis lokasi. Jangan terlalu banyak lokasi dalam memproduksi video atau film tapi gunakanlah lokasi terbatas. Kamu boleh berkhayal dengan impian film yang kamu garap, namun kamu juga harus mengukur diri. Keterbatasan biaya, kru dan pemain mestinya juga membatasi lokasi syuting, selain bertujuan menghemat juga menuntut kamu untuk bisa bereksplorasi lebih dengan lokasi yang terbatas.

Yang kelima
Bedah properti. Kerjasama tim dalam membuat video, film dan program tv salah satunya adalah membedah naskah dan menentukan properti-properti yang diperlukan. Bukan tidak mungkin semakin banyak kru yang terlibat akan semakin menambah kreatifitas yang akan dibuat. Selain itu juga membantu mengurangi biaya sewa dan hemat biaya tentunya. Hanya saja tentu harus sesuai dengan konsep awal.

Hal pokok dari semua itu adalah terus berkarya jangan kapok jangan cepat puas dalam berkarya.

oleh Anton Mabruri KN (Praktisi Broadcast, Filmmaker, Penulis)

Monday 5 February 2018

Peralatan Utama Studio Televisi


SDA (Sumber Daya Alat) atau sumber daya peralatan studio televisi menurut Herbert Zettl dalam bukunya Television Production Handbook, Ninth Edition. Buku ini menjadi pegangan oleh mereka yang sedang belajar produksi program tv hampir di seluruh dunia. Zettl menyebutkan ada delapan elemen basik peralatan produksi anatra lain:
  1. Camera 
  2. Lighting 
  3. Audio 
  4. Switching 
  5. Videotape recording
  6. Tapeless systems 
  7. Postproduction editing
  8. Special effects
Kedelapan peralatan tersebut menjadi standar studio televisi pada umumnya, baik studio berukuran besar atau pun berukuran mini, yang membedakan hanya banyaknya jumlah peralatan yang melengkapi studio yang Anda bangun. Peralatan tersebut pun menempati ruang yang berbeda-beda, karena biasanya studio televisi terbagi menjadi tiga bagian utama yaitu studio floor, master/studio control room, master control, dan juga biasanya ditambah dengan studio post production dan ruang make up (studio support areas). Di dalam studio sendiri biasanya terdapat kamera, lighting dan audio. Sedangkan di dalam ruang master control room terdapat video monitor, switcher (video mixer), videotape recoder, audio controle, lighting control, special effects, dan intercom.
Baca : PERALATAN BROADCAST TV - PROFESSIONAL EQUIPMENT


Disarikan dari buku "Menjadi Broadcaster TV" ditulis oleh Anton Mabruri KN

Note : Adalah buku versi lengkap untuk para broadcaster dengan bahasan mulai dari pra produksi - produksi dan pasca produksi. 

Kamu tertarik dengan dunia BROADCAST TV, FILMMAKING, CONTENT CREATORS, MULTIMEDIA, dari kami?
Klik Subscribe untuk update !